11 January 2011

Memahami Kekinian dg Kebaikan

Kita adalah waktu, yang setiap detiknya adalah kehilangan. Kecuali yang menanam biji kebaikan, setiap kehilangan menumbuhkan pohon masa depan. Waktu berlalu bagai kilat. Yang berlalu adalah kekinian yang lekas silam. Yang mendatang adalah kekinian yang lekas menjemput. George Orwell mengatakan, ”Who controls the past controls the future, who controls the present controls the past.” Maknanya, kemarin dan hari esok ditentukan hari ini.
Dengan angin keburukan yang kita tabur pada hari ini, masa lalu menjadi hantu, masa depan menuai badai. Dengan biji kebaikan yang kita tanam hari ini, masa lalu menjadi lumbung keagungan, dan masa depan menyongsong panen kebahagiaan.
Akan tetapi, siapakah gerangan yang menanam biji kebaikan hari ini? Mediokritas menjadi warna dominan yang kita sapukan di atas kanvas kepemimpinan nasional di segala bidang. Warna inilah yang memantulkan kecemasan ihwal krisis kepemimpinan. Ketidakteraturan menjadi tatanan umum kehidupan bernegara. Kekacauan tatanan inilah yang melahirkan kemacetan dan ketakterkendalian di mana-mana. Aji mumpung menjadi etos kekuasaan. Mentalitas menerabas inilah yang mengembangbiakkan korupsi dan menguras cadangan kekayaan bersama.
Lembaga yustisia bukan menegakkan hukum, malah melanggar hukum. Legislatif bukan menata undang-undang, malah mengacaukan undang-undang. Eksekutif tidak mengeksekusi masalah, malah menutupi masalah dengan masalah lain. Pemerintah daerah yang mengurusi rakyat secara langsung lebih memikirkan nasibnya sendiri ketimbang memikirkan rakyatnya. Dengan biaya politik mahal, kurang dari 5 persen kepala daerah yang dinilai berhasil, ratusan di antaranya terancam hukuman korupsi.
Pertumbuhan ekonomi dinyatakan naik, tetapi sejatinya lebih didominasi oleh pertumbuhan sektor finansial. Hanya sedikit kontribusi dari sektor riil. Pada sisi terakhir, gejala deindustrialisasi memaguti negeri, dengan jutaan tenaga kerja terancam kehilangan pekerjaan. Para pencari kerja di luar negeri terjerumus ke lembah perbudakan akibat lemahnya perlindungan negara.
Dengan mediokritas, kemunduran, kekalahan, dan kekacauan di segala lini bisa dipahami mengapa tunas prestasi sepak bola Indonesia disambut secara gegap gempita. Kejarangan membawa nilai. Begitu sulitnya menemukan prestasi bangsa sehingga pencapaian sebelum final pun segera menjadi rebutan klaim elite negeri. Masing-masing berlomba mengasosiasikan dirinya dengan sumber keberhasilan. Kekacauan kepengurusan PSSI selama ini, dengan kemarau panjang prestasinya, segera dilupakan. Pihak-pihak terkait tidak merasa bagian dari kekacauan dan kekalahan, tetapi secara ramai-ramai merasa menjadi bagian dari kemenangan.
Dilupakan bahwa dengan jumlah penduduk yang berlimpah, ada begitu banyak talenta. Tanpa manajemen nasional yang baik, keberhasilan memang sekali-sekali bisa terwujud, tapi tidak pasti. Tanpa penataan yang rapi di segala lini, jangan harap prestasi bisa terus berlanjut. Akan tetapi, sifat melalaikan tanggung jawab dan mentalitas menerabas para elite sekali lagi tecermin dalam kasus ini. Bukan hanya soal pelayanan tiket yang sulit diakses, tetapi ada arus pemikiran yang berkembang untuk meraih sukses instan dengan menambah pemain berbasis naturalisasi.
Kegandrungan pada gebyar lahir, ketimbang isi batin, membuat kita cenderung melompat pada hasil akhir ketimbang meniti perbaikan proses secara berkeringat dan bertanggung jawab. Demi selebrasi kemenangan, teknik manipulasi dikembangkan dengan melumpuhkan peraturan dan kelembagaan. Maka institusi-institusi yang dirancang untuk memperbaiki kualitas hidup bernegara, satu per satu mengalami krisis kewibawaan.
Di atas krisis laten institusi-institusi kenegaraan yang telah mapan, institusi-institusi kenegaraan baru pun seakan mulai layu sebelum berkembang. Komisi Pemilihan Umum, sebagai penjaga asupan proses demokrasi, mengalami defisit kepercayaan. Pemilu 2009 boleh dikata sebagai pemilu terburuk selama era reformasi, dengan dampak kekisruhannya yang mengemuka pada tahun 2010, yang berakhir dengan pembelotan salah seorang komisionernya ke partai politik.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai penjaga akuntabilitas demokrasi, seakan mati suri. Setelah mengalami proses kriminalisasi yang berbau politis, para komisionernya seperti mengalami krisis kepercayaan diri. Melengkapi krisis eksistensial ini, Ketua KPK baru dipilih dengan seleksi yang mahal dan lama hanya untuk memimpin satu tahun. Masyarakat politik seperti tak punya komitmen yang kuat untuk memulihkan kewibawaan institusi ini. Mahkamah Konstitusi mulai diterpa isu miring.
Demikianlah tahun berlalu meninggalkan gundah, memperburuk masa lalu sebagai sumber kutuk. Tahun mendatang memijarkan kecemasan, melemahkan kepercayaan dalam menyongsong fajar harapan. Kita tidak pernah bisa menghargai masa lalu dan menguasai masa depan karena tidak merebut hari ini. Memulai Tahun Baru, marilah kita tanami ”kekinian” dengan kebaikan!
( Yudi Latif )