18 May 2007

Keliru Itu Indah

Oleh: Gede Prama


Dalam dunia olah raga kita, sepak bola adalah salah satu cabang olah raga yang jarang prestasinya membanggakan. Tentu saja, ada banyak sebab yang bersembunyi di balik fenomena ini. Namun, sulit mengingkari sebuah kenyataan, bahwa sepak bola adalah sejenis permainan yang amat bertumpu pada kecermatan mengelola perbedaan.
Sayangnya, tidak ada cabang olah raga baris berbaris yang diperlombakan. Coba kalau ada, saya yakin - lebih-lebih jika yang mewakili adalah sahabat kita dari ABRI - kita tidaklah mengecewakan.
Beda fundamental antara kedua jenis olah tubuh ini, sepak bola memerlukan perbedaan sebagai sarat utama, sedangkan dalam baris berbaris perbedaan ditekan sekecil-kecilnya. Keliru dalam baris berbaris, maka celakalah akibatnya.
Manajemen publik kita, kalau mau jujur, lebih dekat ke manajemen baris berbaris dibandingkan sepak bola. Bila ada pakar ekonomi politik mengkritik tentang aspek KKN dalam kontrak karya Free Port, disebut menghina pemerintah. Jika ada demonstrasi, disebutlah mereka antek komunis. Setiap inci perbedaan, bukannya dirangkai dan dikelola, malah ditempatkan sebagai kekeliruan yang mengganggu ketenteraman penguasa.
Padahal, ada banyak bukti yang menunjukkan, bahwa kemajuan peradaban manusia dibangun di atas jutaan tumpukan kekeliruan.
Sebut saja Columbus yang menemukan benua Amerika. Manusia pertama yang berani bermimpi bahwa kita bisa terbang. Penemu teknologi internet yang becita-cita tentang desa global yang disatukan komputer.
Kumpulan manusia yang membuat peradaban penuh dengan lompatan ini, secara jujur harus diakui, adalah kumpulan manusia keliru. Secara lebih khusus, jika dilihat dari kaca mata zaman mereka hidup.
Columbus dianggap keliru dengan berlayar terus ke barat. Sebab, pada saatnya akan tercebur ke dalam jurang yang menjadi ujung barat bumi, yang diyakini saat itu berbentuk datar.
Saat opini publik berkeyakinan, bahwa jarak satu negara dengan negara lain demikian jauh, perbedaan bahasa demikian banyak, siapa yang mengira bahwa komunitas manusia di bumi ini, bisa menjadi sebuah desa global melalui internet.
Dengan penuh ketulusan harus diakui, peradaban kita berhutang ke banyak manusia keliru. Sebab, lompatan-lompatan sejarah, lahir dari manusia yang disebut keliru oleh zamannya.
Dari keyakinan bumi datar di ajak melompat menjadi bundar. Dari telepon dengan kabel menjadi tanpa kabel. Dari komputer ke PC menuju note book dan bahkan ada yang menemukan hard disk sebesar koin tetapi dengan kapasitas besar.
Bercermin dari sini, menurut saya kemajuan peradaban berjalan dalam lingkaran kekeliruan. Bayangkan, apa yang terjadi bila manusia tidak bisa terbang dianggap sebagai kebenaran absolut tanpa kekeliruan sedikitpun ?.
Lebih dari sekadar kemajuan, hidup menjadi lebih dinamis dan bergairah bila ada yang berani mengatakan keliru terhadap sejumlah kemapanan berfikir. Susah digambarkan, bagaimana wajah kehidupan, jika kebenaran hanya satu dan dipercayai terus menerus.
Sekolah kerjaannya hanya menghafal kebenaran yang sama. Guru tidak diperlukan dan diganti mesin foto copy. Penelitian tidak ada gunanya. Dialog no way.
Dengan demikian, keberanian sejumlah 'oknum' untuk menyatakan keliru terhadap sejumlah opini publik, sebenarnya motor peradaban. Sekaligus, menghindarkan manusia untuk tidak menjadi dinosaurus yang punah karena tidak berubah.
Lihat saja pengusaha-pengusaha yang menggantungkan nasibnya ke keluarga Cendana. Dari dulu hingga cantelannya lengser, perilakunya tidak berubah. Sebut saja penguasa-penguasa tidak tahu diri yang dipaksa mundur. Semuanya mengindikasikan diri tidak berubah. Dan pada saat yang sama, menempatkan manusia yang berani menyebut mereka keliru pada posisi semenderita mungkin.
Bertolak dari sini, penguasa dan pengusaha mana saja yang hanya sibuk membenarkan diri sendiri, dan memusuhi siapa saja yang berani menyebut mereka keliru, cepat atau lambat akan menelan batu yang mereka buat sendiri.
Mungkin ada baiknya bercermin dari apa yang pernah ditulis Karl Popper di tahun 1958. Dalam The logic of scientific discovery, Popper menulis : 'science progresses most rapidly when we attempt to refute our theories and hypotheses rather than seek to confirm them'.
Meminjam argumen Popper, ilmu pengetahuan - demikian juga usaha dan perekonomian - akan berkembang sangat cepat kalau kita berani membuktikan bahwa pendapat kita keliru.
Dan harus diakui, tulisan ini juga berisi banyak kekeliruan. Wong kekeliruan koq disebut indah dan sumber kemajuan. Anda juga keliru dengan membaca halaman ini. Sudah tahu judulnya keliru dibaca juga.
Akan tetapi, dalam kekeliruan itulah terletak banyak sekali keindahan yang menjadi awal kemajuan.
Gede Prama beralamat di www.gedepramaideas.com